Berikut ini adalah cerita Kiriman dari saudara Ulul Fadli..
Silakan dinikmati !!!
Bagian Pertama
Kularikan motorku ditengah derunya hujan, aku coba menahan air mataku dalam aliran hujan yang membasuh wajahku. Jarum di speedometer motor sudah hampir menunjuk angka 100. Aku sudah tidak dapat berpikir jernih, dari Pukul delapan sampai sekarang sudah tengah malam aku terus menerobos hujan. Sampai akhirnya aku tepat didepan rumah bercat hijau, rumah yang sudah tak asing lagi untukku, rumah Sahabatku, Rika. Kenapa aku bisa sampai disini, padahal aku tak berniat sama sekali kesini. Aku tepikan motorku didepan rumahnya, meneduh dari hujan.
“Halo Cil, udah tidur?” aku meneleponnya.
“iyah lah, Rut. baru aja intro mimpi gw. Kenapa?” Rika menyahut.
“ganggu gak gw?”
“menurut lo? Ini tengah malem kali.” Rika membalas agak mengomel.
“temenin gw ngobrol deh cil, oke yah? Bentar aja”
“ogah ah, ngantuk nih gw. Udah yah, telepon lagi aja yah besok.”
“Ah parah banget lo mah, temenin gw donk bentar aja.”
“iya deh gw temenin, sepuluh detik dari sekarang.”
“najis. Pelit amat lo Cuma ngasih waktu sepuluh detik buat gw. Lo lupa siapa yang anter-jemput lo dari jaman lo SMP sampe sekarang hah?”
“beh, dasar lo perhitungan banget. Langsung ngungkit-ngungkit itu dah. Emang ada apa sih lo tumben banget nelepon gw tengah malem gini?”
“gak ada apa-apa sih, Cuma pengen ngobrol doank. hehehehe”
“bentar deh, kok berisik banget yah ditempat lo. Dimana sih lo?”
“hujan neng, jelas aja berisik.”
“iyah tau gw, tapi kok jelas banget suaranya.”
“berarti HP gw mantap, bisa ampe jelas gitu suaranya”
“alah, lupa tuh dulu HP siapa?”
“heheheehehehehe” aku tertawa, karena HP yang aku pakai sekarang adalah punya Rika yang tidak terpakai. Lumayan lama aku berbicara dengan dia, sampai gigilan tubuhku semakin kencang. Aku mengakhiri perbincangan,
“cil, makasih yah dah mau ngobrol sama gw.”
“iya bel, lain kali jangan diulangi ya nak. hehehehehe”
“iya Bu, gak diulangi deh. Yaudah ya, lo lanjutin tidur dah sana.”
“oke deh. Met malem bel.”
“malem Bocil.” Aku menutup pembicaraan dengan Rika.
Aku tenang sekarang setelah mendengar suara sahabatku, Rika. Mungkin kata sahabat pun untuk Rika itu tidak tepat, kami sangat dekat. Orang tua kami saling kenal, sangat dekat juga. Aku bersyukur punya sahabat seperti dia; baik, manis, dan pintar. Kami selalu berbicara masalah-masalah yang dihadapi, mulai dari hidup, sekolah, sampai masalah cinta.
Aku bisa melupakan masalahku dengan Amel, setelah mengobrol dengan Rika walau tanpa bercerita masalah dengan Amel. Tadi, beberapa jam yang lalu aku coba kerumah Amel melakukan ritual orang pacaran, ngapel. Aku memang tak pernah main kerumahnya saat malam Minggu untuk sekedar melakukan apa yang disebut pacaran. Biasanya Aku lebih memilih semedi dengan notebook-ku dan beberapa pekerjaanku pada malam minggu. Sayangnya ngapel menjadi parameter Amel dalam berpacaran. Naas memang, seorang Amel yang cantik luar biasa dan berwawasan luas tapi berpikiran pendek.
Saat aku sampai di gang rumahnya, aku melihat sebuah motor ninja yang sudah terparkir pasti. Sebelum sampai depan rumahnya, aku matikan supra butut milikku. Aku parkir agak jauh dari rumahnya, lalu aku berjalan menuju rumah Amel. Aku terus berjalan sampai aku lihat ada Amel di teras rumahnya, bersama seorang laki-laki. Mengobrol asik, sampai mereka saling tertawa dan tenggelam dalam keceriaan.
“sayang, lagi apa? Malem minggu sama siapa nih? ” aku kirim sms ke Amel
“sama siapa lagi deh, aku aja ditinggal terus sama kamu. Nonton tivi aja nih yank.” Amel membalas.
Mereka semakin asik dalam obrolan sampai aku melihat mereka berciuman. Ya, pacarku berciuman dengan orang lain.
“aku kan ngurusin kerjaan, bukan selingkuh.” Aku mengetik sms sindiran sambil gemetar.
Amel tidak menghiraukan sms ku, bahkan mereka semakin asik dengan apa yang sedang mereka kerjakan. Tiba-tiba tangan lelaki itu telah menggerayangi badan Amel, sampai aku tak kuat melihatnya saat tangannya masuk kedalam kaos yang dikenakan Amel. Badanku seperti tak bertulang, lemas sekali.
“berapa malam minggu yang mereka habiskan bersama? Berapa kali bibir mereka bertemu? Berapa kali mereka melakukan itu?” pertanyaan itu terus membahana di dalam hatiku.
Aku seret kaki ku menuju motor lalu pergi melaju dengan kencang.
“Awas aja kalo kamu SELINGKUH. Gak mau aku pacaran sama kamu lagi. Aku tidur ya yank. Met malem. Semangat yah kerjanya. Muaaach.” Sejam kemudian aku mendapat balasan dari Amel.
Dia bersikap sangat wajar sekali, seperti tidak ada apa-apa. Sangat total sekali dia melakoni adegan perselingkuhan itu, seperti artis pro. Aku tak tahu kenapa dia sampai bisa melakukan itu, apa karena aku tak pernah mau melakukan pertemuan bibir itu? Aku memang selalu menolak dengan halus jika gesture tubuhnya meminta aku untuk melakukannya. Sungguh munafik jika aku tidak ingin, hanya saja aku ingin melakukannya saatny tepat nanti, saat kita melakukannya diluar kata haram. sayangnya sikapku seperti itu hanya membuatnya tak tahan dan melampiaskannya pada orang lain. Walau hatiku seperti tertusuk tombak besar, tapi aku sangat berterimakasih karena aku mengetahuinya sekarang sebelum semuanya terlambat.
Sesampainya dirumah aku langsung menetralisir air hujan dengan mandi. Setelah mandi aku Berwudhu dan langsung shalat. Selesai berdoa, aku baringkan tubuhku diatas kasur.
“Selamat Malam Melati Dwi Pertiwi.” Aku mengirim sms sebelum akhirnya aku terlelap.
*********
Bagian Kedua
Aku terbangun dari tidur, suara alarm hp sangat membantuku untuk bangun pagi. Sempat hatiku merasa lega karena hanya bunga tidurku saja, melihat Amel bersama seorang lelaki. Semua berubah saat aku melihat hp ku, “Selamat Malam Melati Dwi Pertiwi” masih berada dalam pesan keluar. Aku kembali bergetar, adegan semalam kembali terputar dalam fikiranku. Badanku semakin bergetar saat coba menebak sudah berapa kali mereka seperti itu, sampai pintu kamarku terbuka.
“lho, udah bangun kamu?”
“iya mah, biasa juga jam segini”
“udah shalat belum?”
“belum mah, hehehehe” aku mnyeringai yang kemudian mengambil aksi untuk kekamar mandi.
Setelah melakukan ritual pagi dan shalat subuh, aku langsung menyambar hp.
“Bocil, udah bangun?” aku mengirim sms kepada Rika. Aku kembali melamun dan entah kenapa kembali kepada kejadian semalam. Aku menghindar dengan langsung pergi kekamar mandi, segarkan badan. Aku berharap, kenangan semalam akan hilang terbawa guyuran air dari badanku. Aku khatamkan acara dikamar mandi dengan selesainya semedi di atas kloset.
“iya udah nih. Jemput gw yah ntar. :)” sms balesan dari Rika.
“iya nyah. Jam berapa?” Gw membalas lagi.
“kalo kerja kamu kayak gini, saya gak ragu naikin gaji kamu. Hahaha. Jam setgah8 ya!”
“sial lo, emang gw supir.”
Aku buat kopi untuk menemani pagi ini yang sangat dingin karena efek hujan semalam.
“ntar bisa ketemu gak?” aku kirim sms ke Amel.
“bisa kok, yank. Jam berapa?” balasan Amel.
“jam 10. Dandan yang cantik yah :)” aku balas lagi.
Aku langsung berangkat menuju rumah Rika menjemput dan mengantarkannya kesebuah studio kerja. Amel kerja dibidang desain grafis, sangat pas untuknya yang sangat mencintai bidang itu.
“Masuk, Bel?” Tawaran Ibunya Rika saat aku sampai di rumahnya.
“Iya, Bun,” Aku menyalami Bundaku, “Rika nya udah siap, Bun?”
“udah, lagi sarapan. Ikutan sana.”
Aku segera masuk kedalam dan langsung ikut sarapan bersama Rika. Kami ngobrol iseng tentang Newton. Mempertanyakan tentang keisengannya menganalisa apel jatuh yang kemudian menyebabkan postulat-postulat perusak masa depan siwa muncul. Sangat menyebalkan, untungnya masa-masa seperti itu telah lewat dari fase kehidupanku.
Setelah bicara ngalor ngidul, kami pamit kepada bunda untuk berangkat.
“kenapa sih lo gak naik mobil aja?”
“itu kan bukan mobil gw, ini hasil keringat gw sendiri” jelasku sambil melirik supra.
“kan rambut gw jadi berantakan nih” Rika ngomel sambil memelintir rambutnya.
“oke, gw duluan yah.” Aku sudah menstarter motorku dan memasukan gigi,mengambil ancang-ancang untuk menarik gas sampai ada yang meloncat kebelakang jok motorku.
“beh, ngambek deh. Jelek lo ah kalo ngambek.”
“bodo.”
“yaudah, ayo jalan.” Rika memeluk tubuhku, tidak seperti biasanya. Aku mengurungkan pertanyakanku atas sikapnya yang tidak seperti biasa, sangat nyaman. Dan perjalanan menuju tempat kerjanya, Rika terus memelukku erat. Aku sempat bercerita pada Rika tentang kelakuan Amel semalam dan memberitahukan maksud kedatanganku ke rumah Amel setelah ini. Rika semakin erat memelukku sampai tiba di depan studio kerjanya. Setelah menurunkan Rika, aku langsung bergerak menuju rumah Amel.
Aku melaju menuju rumah Amel tanpa ragu. Diperjalanan aku menimang-nimang, perkataan apa yang akan aku keluarkan nanti. Mempersiapkan mental dan kekuatan diriku agar bisa tegar nanti. Mempersiapkan diri untuk menanggung resiko, sakitnya meninggalkan seorang yang kita sayang.
“hei, udah dateng kamu. Pas banget jam 10.”
“iya donk, aku kan gak kayak kamu, nona karet.” Aku bicara seperti tidak ada yang terjadi tadi malam.
“masuk yuk” ajak Amel.
“iyah, aku juga males disini” sambil menunjuk tempat kejadian perkara tadi malem. Aku duduk di sofa panjang, bersebelahan dengan Amel.
“kamu mau minum apa?” tanya Amel.
“gak usah, duduk aja disini yang tenang.” Kataku
“yaudah. Kok kamu gak ke kantor?”
“aku bilang izin ke dokter dulu buat berobat, aku bilang gak enak badan. Ntar habis ini juga ke kantor.” Aku menjelaskan.
“wah, niat banget kamu pengen ketemu aku.”
“iya donk. Hehehe” aku tertawa kecil.
“hmmmm” aku memandang wajah Amel, sangat sempurna, “kamu cantik banget.”
“iya donk, udah dandan gini masa gak cantik.”
Dia memang sempurna.
“terlalu cantik sampai aku gak bisa jaga kamu” kuawali dengan kalimat indah.
“apa sih kamu?”
“gak bisa ngasih perhatian lebih buat kamu.” Kataku mantap.
“apa deh? Kayak abg labil.”
“aku pengen kita udahan aja.” Aku coba menahan air mata.
“gak lucu deh yank.” Amel merajuk.
“aku sayang banget sama kamu, gak pengen ngeliat orang yang aku sayang ini gak bahagia” aku mengelus pipinya, yang langsung ditepis oleh Amel.
“apa maksudnya ini?” Amel berteriak kencang.
“Aku pengen kita udahan dan ngeliat kamu bisa bahagia sama orang yang tadi malam udah gerayangin badan kamu.” Aku coba tetap tenang, menahan emosi yang sangat ingin meledak.
Amel seperti orang yang diberikan surprise party saat ulang tahunnya, raut wajahnya menunjukan kekagetan itu.
“semalem aku kerumah, niatnya mau pacaran. Hehehe” aku masih coba terlihat tenang, “aku lihat ada motor di depan rumah. Aku penasaran sama tamunya, ternyata cowok. Dan disitu aku ngeliat kamu berhubungan fisik, yang gak pernah aku akuin sama kamu.”
“maafin aku....” Amel meloncat kedalam pelukan dan membasahi kemejaku.
Aku tarik badannya dan menegakkan wajahnya yang tertunduk, “aku yang harusnya minta maaf. Gak bisa buat kamu seneng. Sekali lagi maafin aku yah, aku gak pengen kamu terus bohong sama aku. Jadi aku pengen kita pisah aja.” Aku masih bisa menahan segala emosiku, “udah ah, gak usah nangis. Masa cengeng gini sih.” Aku sapu air mata yang mengalir di pipinya.
“makasih ya, Mel, kamu udah mau jadi seorang yang sangat baik sama aku” Aku mengecup kening Amel, “semoga kamu bahagia sama dia” aku berdiri dan segera meninggalkannya sendiri.
Air mataku mengalir deras berbanding lurus dengan sakitnya hatiku saat harus rela meninggalkan Amel. Tidak munafik bahwa aku sangat menyayanginya, aku sudah sangat yakin dengan dirinya, seyakin diriku untuk menjadikannya seseorang yang halal bagiku. Tapi aku sadar, untuk apa memaksakan seseorang yang sama sekali tidak bahagia bersama kita. Lebih baik merelakannya bersama orang yang bisa membuatnya bahagia selalu.
Dalam tangisku, aku berdoa. Berdoa untuk semua langakah yang telah aku dan Amel ambil. Mengambil langkah yang berbeda yang tidak selaras. Semoga juga dia akan berbahagia bersama lelaki itu. semoga juga aku bisa melepaskan sayangku kepadanya sedikit demi sedikit. Semoga...
*********
Bagian Ketiga
Kehilangan Amel telah membuat lubang masif dihatiku, yang membuat udara tak bisa tertampung di dada. Aku harus berusaha keras untuk mengurung udara agar aku bisa bernafas, bernafas untuk membuang sayangku padanya. Aku sama sekali tak sadar jika sayangku kepada Amel sudah sebesar itu sehingga dapat membuatku tak bergairah melakukan kegiatanku seharinya.
Mungkin Amel sudah tidak memikirkan diriku lagi, diriku yang terkhianati oleh dirinya. Diriku yang tak bisa membuatnya nyaman dan bahagia. Diriku yang hanya bisa berangan hidup bersama Amel tanpa ada usaha yang berarti untuk menjaganya.
Aku terus menyalahi diriku sendiri atas kehilangan Amel yang sangat aku sayang. Sampai Rika menyadarkan diriku.
“lo masih sayang yah sama dia?” tanya Rika.
“bohong kalo gw bilang gak, Cil. 2 tahun bukan waktu yang cepet.”
“dan satu bulan adalah waktu yang lama untuk lo uring-uringan begitu.” Rika tak kalah, “gw gak kenal sama Abel yang lemah kayak gini. Abel tuh kuat dan ceria. Gak kayak sekarang.” Rika mencibir.
“gak Cuma lo, gw juga kehilangan Abel yang kayak gitu.”
“lo gak kehilangan kok, Cuma lo menahan Abel yang itu untuk keluar. Lo mengurung dia jauh di ruang hati lo yang lain. Come on, jangan statis gini donk.”
“........” Aku terdiam menatap wajah Rika.
“ini” Rika menunjuk dadaku, “bagaikan sebidang tanah dan lo adalah pak taninya. Sekarang tinggal lo tentuin, mau tanamin apa tuh tanah yang lo punya. Apa iya mau terus nyiramin taneman mati?” Rika menganalogikannya.
“.......” aku masih terdiam.
“ayo, gw yakin lo bisa move on kok. Lo Cuma tinggal nyari taneman lagi aja kok buat mengisi tanah kosong lo itu.”
Aku takjub kepada seorang yang berada di depanku ini, dia bisa membawa sedikit sadar apa yang terjadi kini sangat tidak wajar untukku.
“makasih ya, Cil.” Aku memeluk dirinya.
Setelah kejadian hari itu, aku coba berdiri lagi menantang hari. Coba menata hati lagi, melangkah lagi, dan tentunya coba mengisi tanah kosong yang kini aku miliki. Walau tak seutuhnya kosong karena masih ada sisa tanaman terdahulu yang tersisa.
Rika membantuku untuk menetralisir perasaanku atas Amel. Aku pun mencoba terus takmengingat lagi semua kenanganku bersama Amel dengan terus bersama Rika. Rika yang telah membuatku menjadi kuat kembali dan dia juga yang kini mengisi hari-hariku. Kami seperti pasangan kekasih sekarang, selalu berdua. Rika selalu minta ditemani olehku setiap waktu, bahkan sekedar belanja kebutuhannya. Tak beda dengan diriku.
Semua itu menjadi masa kehidupanku yang sangat membahagiakan. Sampai saat itu datang, saat yang menjadi titik balik keterpurukan. Posisiku yang tadinya berada diatas, harus terjerembab jatuh kebawah. Semua datang secara tiba-tiba tanpa aku ketahui.
“assalamualaikum” suara wanita dari seberang telepon. Nomor yang tertera tidak aku kenal, tapi suara ini familiar.
“walaikumsalam” aku menjawab suara teduh diseberang sana. “maaf, ini siapa yah?”
“jahat banget nomor aku dihapus.”
“maaf, ini siapa?”
“Ini Amel, Bel.”
Aku coba mencerna kalimat terakhir dari seberang telepon, aku terdiam. Suara yang teduh dan sangat familiar itu adalah suara Amel. Seorang yang sangat ingin aku lupakan. Tapi dia malah meneleponku saat proses rehabilitasi belum sempurna.
“kok diem aja, Bel?”
“eh, gak apa-apa kok.” Aku gugup, entah kenapa? “ada apa yah?”
“gak ada apa-apa sih. Mau denger suara kamu aja.” Suara yang tadi teduh kini sedikit lirih.
“kirain ada yang penting.”
“ ada emang, bisa ketemuan gak?”
“hah? Ke-te-mu-an? Mau ngapain.”
“ada yang mau aku omongin” suaranya semakin lirih, seperti orang menangis “Aku tunggu yah, di cafe jadian.” Dan sambungan terputus.
“halo, haloo” aku memekik, tapi percuma. Sudah terputus.
Aku bingung dengan kelakuan Amel yang tiba-tiba datang seperti ini. mengajak bertemu, ada yang ingin dibicirakan. Aku sudah tidak ingin membicarakan masa lalu lagi. Aku sudah cukup kuat tanpa dirinya. Jadi jangan harap aku akan datang bertemu dengan kamu hari ini, walau itu sangat penting bagi dirimu.
********
Bagian Keempat
Entah bisikan dari mana sampai-sampai aku sudah berada di jalan menuju cafe jadian. Cafe tempat aku menyatakan cintaku pada Amel, tempat yang membuat status teman berubah menjadi pacar. Tempat yang penuh kenangan bersama Amel, dan aku sedang menuju tempat tersebut. sebenarnya aku enggan menemuinya, tapi sistem kerja otakku tak dapat mengontrol diri ini untuk tidak pergi.
Aku terus menyusuri garis jalan, sambil coba tak membuka kenangan dulu bersama Amel. Terus mengunciny dalam sebuah kotak dengan kode kombinasi yang sulit di pecahkan. Sampai aku tiba disebuah tempat pertemuan kita, tak ada yang berubah. Semua masih sama seperti dulu, tempat ini seperti sengaja di jaga untuk diriku, untuk mengenang semuanya. Semua kenangan yang tadi aku kunci rapat kini terbuka dengan sendirinya. Semua gambaran dinamis berjudul kenangan bersama Amel langsung terputar lagi dalam fikiranku. Aku kalah.
“Abel,” suara teriakan dari sudut cafe, “disini” Amel melambaikan tangan.
“huh” aku hembusakan nafas pasrah dan berjalan menuju tempatnya duduk. Dia memilih sudut yang sama, sama seperti waktu itu.
“duduk” pinta Amel.
“he’eh” aku malas mengeluarkan kata.
“kamu masih inget kan tempat ini? meja ini” Amel memulai dengan kalimat yang menurutku sangat mengganggu.
Aku hanya tersenyum, aku ingat semua. Masih jelas dalam fikiranku. Tak terasa tanah kosong ini kembali ditumbuhi semua yang pernah ditanam Amel. Sial, semua yang aku bangun untuk mengurung perasaan ini runtuh dengan sempurna. Harusnya ku memang tak ketempat ini,menemui dirinya.
“.........” Amel terdiam memandangi wajahku, lalu coba tersenyum walau agak berat aku lihat.
“.........” Aku juga tak bicara.
“kamu udah punya pacar lagi?” Amel bertanya.
“gw masih seneng sendiri. gak terbebani.” Aku coba menjawab ketus.
Amel menunduk dan tiba-tiba menangis. Persis seperti yang aku pikirkan, pasti ada adegan menangis lalu dengan tersedu-sedu Amel akan bicara bahwa dia menyesal melakukan semua yang telah merusak hubungan kita dulu. Setelah itu pasti memohon untuk balikan lagi denganku. Aku langsung mempersiapkan kalimat penolakan.
“a..ku...” bibir Amel bergetar, sangat terasa dari suaranya. Dia tak meneruskan kalimatnya dan kembali terisak. Aku tak mau menunjukan simpatiku, ini kesalahan yang telah dibuat Amel sendiri.
“ha...mil....” terdengar sayup dari tangisannya.
“hah?” aku terkejut mendengarnya.
“Aku hamil, Bel.” Amel bicara lebih jelas lagi. Aku semakin terkaget.
“kok bisa?” kini tubuhku yang bergetar. Menurutku kata hamil sangat tabu bagi seorang yang belum mempunyai status menikah. “sama siapa?” aku bertanya orangnya.
“......” Amel hanya mengisak.
“yang gerayangin badan kamu itu?” aku mulai geram.
“......” Amel masih larut dalam tangisannya, yang dilanjutkan dengan anggukan kecil dari drinya.
“tenang donk, gemana gw bisa tahu masalahnya kalo lo nangis terus.” Aku kesal.
“udah jalan 3 minggu” Amel menjelaskan usia kandungannya, “dia menghilang saat aku cerita tentang ini. aku gak tahu dia kemana, Bel? Aku gak mau gugurin.”
“cowok brengsek” aku emosi, “lo tahu rumah dia?”
“itu dia salah aku, aku gak tahu sama sekali tentang itu. yang aku tahu ya Cuma dia, gak tahu tinggalnya dimana, apa kerja orangtuanya, yang aku tahu ya Cuma Rio doank.”
“yaudah gini aja, lo kasih tau semua tentang bajingan itu ke gw, gw bantuin lo buat nyari dia.”
Sayagnya Amel hanya mengetahui nomor ponsel yang terakhir dipakai Rio, nama panjangnya dan daerah Rio mengontrak. Kalau begini, akan susah mencari si bajingan itu.
********
Bagian Kelima
Sudah sebulan kami (aku dan Amel) mencarinya, tak ada yang kami dapat. Kami sudah melapor ke pihak berwajib, tapi setiap kami mencari tahu perkembangannya pun hampir tak ada. Kami sempat mencarinya di daerah kontrakannya, Palmerah, tapi juga tak ada hasil. Sangat hebat sekali dia dalam melarikan diri, melarikan diri dari tanggung jawab.
Aku terus mencari si brengsek itu, entah mengapa aku jadi orang sangat peduli pada Amel. Aku sangat semangat mencari si brengsek, padahal jika ditelisik lagi harusnya aku tak usah mempedulikan Amel yang telah menyakitiku. Tapi tak lagi aku pikirkan itu.
Semangatku berbanding terbalik dengan Amel, raut wajah keputusasaan telah meraup dirinya. Amel sepertinya sudah patah semangat mencari Rio.
“Bel, udah deh. Gak usah dicari lagi dia.” Amel menarik nafas dalam.
“trus?”
“aku mau gugurin aja, sebelum makin besar.”
“gak bisa, sama aja kamu kayak pembunuh. lo tega emang bunuh anak lo sendiri?” aku meletup-letup.
“..........” Amel terdiam, lalu menutup wajahnya dengan tangan dan menangsi kencang.
“aku gak mau anak ini lahir tanpa ayah. Aku gak sanggup.” Suara Amel disela tangisnya.
Aku tak bisa berkata apa-apa, walau aku tak merasakannya tapi aku tahu betul perasaan Amel saat ini. aku peluk Amel, menenangkannya.
----------------
Aku tak bisa melihat Amel menderita seperti itu, aku iba. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika anaknya lahir tanpa sosok ayah, cemoohan pasti didapatnya. Apa lagi Amel, harus mendapatkan sanksi moral dari lingkungannya karena hamil diluar nikah. Aku benar-benar tak sanggup untuk memikirkannya dan tiba-tiba saja sebulir air mata jatuh.
Aku berpikir keras, apa lagi yang bisa aku lakukan untuk Amel agar dia tak menderita seperti itu lagi. Sebenarnya aku sangat ingin membantunya, menguapkan penderitaannya. Sampai aku memikirkan suatu cara, yang mungkin baik untuk Amel dan masa depan anaknya. Aku ingin membicarakannya kepada Rika terlebih dahulu.
“Cil, ketemuan yuk. Di bakso kan jarman aja. 15 menit lagi gw nyampe.” Aku kirim sms ke Rika.
“oke deh, bayarin yah. hehehe :D”
---------------
“cil, lo tahu kan mantan gw, Amel.” Aku mulai bicara saat bakso sudah habis dimangkuk.
“iyah, kenapa?”
“sebulan yang lalu dia ngehubungin gw lagi.”
“hah? Dia ngomong apa? Minta balikan lagi? Trus lo mau?” Rika memberondong. Aku lihat ada suatu rasa kegelisahan dari wajahnya.
“aduh, kayak ibu-ibu rumpi lo. kalem donk.”
“yaudah cerita” Rika penasaran.
“jadi waktu itu dia hubungin gw.....” aku terdiam sebentar.
“trussssssss?” celetuk Rika.
“minta ketemu sama gw. Awalanya gw gak mau....” belum sempat aku melanjutkan, Rika sudah memotong.
“akhirnya lo ketemu kan?” potong Rika.
“iyah. Gw pikir awalnya juga pasti dia minta balikan, eh ternyata enggak.”
“minta kawin?” Rika kesal.
“heh, becanda aja lo.” aku menegurnya, “dia cerita, kalo dia hamil?”
“hah?” Rika tercekat mendengar itu.
Aku ceritakan semua, mulai dari Rio yang selingkuh dengan Amel sampai akhirnya aku dan Amel mencari si brengsek yang kabur itu karena tak mau bertanggung jawab. Semua aku jelaskan tanpa ada kekurangan, sedetil-detilnya. Dan aku mengutarakan keinginanku.
“begitu, Cil. Dan gw pengen nikahin dia. gw gak mau liat anaknya nanti gak punya ayah.” Aku menjelaskan.
“hah? Gw kira Amel doank yang gila karena kehamilannya, dan lo ikutan gila.” Rika berkata sambil menyilangkan dua telunjuk di jidatnya.
“gw serius, Cil. Gw kan dari awal emang pengen bahagiain Amel. Mungkin ini jalannya gw bisa ngebahagiain dia.”
“setelah lo disakitin? Bener-bener psycho lo,” Rika menoyor kepalaku, “yang mau sama lo banyak, Bel. Kenapa lo stuck sama dia. urusan dia hamil mah itu pribadi dia, kan yang hamilin bukan lo.” Rika kesal.
“tapi, Cil....” omonganku terpotong rika.
“oke, lo Cuma pengen gw tahu apa nanya pendapat gw tentang rencana lo ini?” tanya Rika penuh nafsu.
“gw pengen denger pendapat lo, Cil.” Aku menjawab lirih. Benarkah aku yakin dengan ini semua?
“pendapat gw ya yang tadi, itu masalah dia dan bukan lo yang harusnya tanggung jawab.” Rika lebih terkesan membentak.
“tapi....”
“berarti lo Cuma pengen gw tahu doank rencana ini tanpa menggubris pendapat gw.” Rika kesal, “jalanin sesuka lo, Bel. Gw tunggu undangannya.” Rika keluar kedai bakso dan segera memanggil ojek dan pulang kerumah.
Aku tak mengerti, kenapa Rika bisa semarah itu padaku? Apa dia sedang dapet? Semoga saja iya, karena saat-saat seperti itu emosinya tak terkontrol. Dan aku memantapkan hatiku untuk menikahi Amel, dan akan ku beritahukan secepatnya pada Amel. Semoga dapat membawa sedikit kebahagiaan padanya.
**********
Bagian Keenam
Aku sudah siap dengan kemeja hitam lengan panjang dan celana jeans hitam. Aku memang telah menyiapkan pakaian ini kemarin, aku setrika sendiri dan menyemprotkan pewangi yang sangat harum. Aku berdoa semoga semua berjalan dengan lancar.
Aku tepikan motorku di toko bunga, aku ingin membawa mawar putih untuk Amel. Kenapa putih, karena Amel menyukai warnanya dan agar lebih terlihat kontras dengan pakaianku. Sempurna. Aku laju lagi motorku menuju rumah Amel. Ditengah perjalanan tiba-tiba terdengar suara ponselku berteriak, aku lihat layar ponselku, Amel.
“iya, Mel.”
“Halo, Bel.” Suara Amel agak keras.
“kenapa, Bel” aku jauhkan ponsel dari telingaku.
“tahu gak, Bel?” kalimat Amel seperti ABG.
“gak tahu.” Aku jawab seadanya.
“hehehe” Amel tertawa, “tadi Rio kesini. Dan dia mau tanggung jawab, Bel.” Amel sumringah.
“........” aku bergetar.
“Bel, Abel? Masih di situ kan?”
“iya, Mel. Masih kok. Bagus deh kalo gitu.” Aku respon seadanya, aku sudah keburu kecewa.
“makasih ya, Bel. Makasih selama sebulan ini kamu nemenin aku.”
“gak usah dipikirin. Yaudah ya, buru-buru nih gw. Lagi dijalan” aku tak berbohong padanya, ini penghindaranku dari dirinya.
“yaudah, bye.” Sambungan terputus.
Air mataku meleleh, kenapa? Kenapa saat aku sudah yakin untuk meminangnya tapi kembali terpisah? Tapi bukannya bagus yah, dia sudah bersama orang yang menghamilinya, tapi aku malah sedih. Aku larikan motorku sekencang-kencangnya. Berharap menguap segala kesedihan ini.
Entah aku sudah berada dimana sampai aku sadar tentang seorang yang bisa aku bagikan cerita, Rika. Aku mau mengirim pesan pada dirinya, saat aku lihat layar ponselku ada pemberitahuan, 33 panggilan tak terjawab dan 17 pesan masuk. Aku lihat panggilan tak terjawab, ternyata Mamah. Aku telepon Mamah, takut ada yang penting.
“halo mah, ada apa?” aku coba tak terdengar sedih.
“hah?” aku kaget saat mendengar itu dari mamah.
----------
Aku benar-benar tak mengira semua ini bisa terjadi. Kenapa bisa-bisanya Rika berpikiran pendek seperti ini, kenapa dia tidak pernah bercerita denganku. Apa semua terlalu berat dia katakan? aku pikir, akulah seorang yang paling mengerti dirinya. Ternyta tidak, aku adalah seorang yang dekat dengannya tapi yang tidak mengerti dirinya.
“ayo, Bel.” Mamah menyodorkan keranjang itu.
Air mataku mengalir deras saat aku mengambil bunga dan menaburkannya di atas gundukan tanah baru ini. Satu sosok telah tertimbun dibawah tanah ini, Rika. Dia telah menghilangkan nyawanya sendiri. Tidak, akulah yang telah membunuhnya. Akulah yang telah memaksanya untuk meninggalkan dunia ini. Sungguh aku seorang sahabat yang sangat jahat.
Genggaman bunga terakhir sudah tertabur diatas makam Erika Widyaningsih, sahabatku. Aku hampiri bunda, untuk meminta maaf padanya.
“bun, maafin aku yah.” Aku mencium tangan bunda dengan isakan tangis.
“maafin bunda juga yah, bunda gak maksud nyalahin kamu tadi.” Bunda mengelus kepalaku, “doain Rika selalu ya, Bel.”
“pasti, Bun.” Aku melepaskan tangannya. Bunda lalu memelukku sangat erat.
“makasih ya, Bel.” Lalu Bunda pergi dari TPU. Disusul dengan yang lain.
Aku terduduk meratapi kepergiannya, terus berkata ‘kenapa?’ tak henti. Mamah mengerti sekali perasaanku, lalu ditinggalkannya diriku berdua dengan Rika. Aku ambil kertas yang ditulis oleh Rika sebelum dia menenggak obat pengusir serangga. Aku baca lagi isinya, sangat membuatku menyesal.
“kenapa sih lo seneng nyusahin diri lo sendiri? Kenapa?
Gw udah seneng banget waktu lo putus sama dia
Tapi apa? Lo lebih milih buat bikin masa depan dia gak suram
Ninggalin masa depan gw
Gw marah banget sama lo, karena keinginan lo buat nikah sama dia
Apa lo gak bisa ketulusan dari mata gw?
Gw gak pernah bisa ngomong sama lo
Gw pengen lo tahu dengan sikap gw
Sikap gw yang nolak semua tawaran cowok buat jadi pacar mereka
Gw pengen lo tahu kalo gw nolak mereka semua itu karena gw mau lo, Cuma lo satu-satunya
Tapi saat lo bilang pengen nikah sama dia, gw seolah-olah gak ada harapan sema sekali
Sia-sia semua usaha gw untuk pertahanin perasaan gw ke lo
Lo gak pernah ngerasain itu
.......
Semoga lo bahagia dengan dia yah, Mulya Libel Andri.
Seandainya lo ngomong sama gw, Cil. Mungkin lo masih tersenyum disamping gw. Maafin gw ya, Cil.
.:END:.
Silakan dinikmati !!!
Bagian Pertama
Kularikan motorku ditengah derunya hujan, aku coba menahan air mataku dalam aliran hujan yang membasuh wajahku. Jarum di speedometer motor sudah hampir menunjuk angka 100. Aku sudah tidak dapat berpikir jernih, dari Pukul delapan sampai sekarang sudah tengah malam aku terus menerobos hujan. Sampai akhirnya aku tepat didepan rumah bercat hijau, rumah yang sudah tak asing lagi untukku, rumah Sahabatku, Rika. Kenapa aku bisa sampai disini, padahal aku tak berniat sama sekali kesini. Aku tepikan motorku didepan rumahnya, meneduh dari hujan.
“Halo Cil, udah tidur?” aku meneleponnya.
“iyah lah, Rut. baru aja intro mimpi gw. Kenapa?” Rika menyahut.
“ganggu gak gw?”
“menurut lo? Ini tengah malem kali.” Rika membalas agak mengomel.
“temenin gw ngobrol deh cil, oke yah? Bentar aja”
“ogah ah, ngantuk nih gw. Udah yah, telepon lagi aja yah besok.”
“Ah parah banget lo mah, temenin gw donk bentar aja.”
“iya deh gw temenin, sepuluh detik dari sekarang.”
“najis. Pelit amat lo Cuma ngasih waktu sepuluh detik buat gw. Lo lupa siapa yang anter-jemput lo dari jaman lo SMP sampe sekarang hah?”
“beh, dasar lo perhitungan banget. Langsung ngungkit-ngungkit itu dah. Emang ada apa sih lo tumben banget nelepon gw tengah malem gini?”
“gak ada apa-apa sih, Cuma pengen ngobrol doank. hehehehe”
“bentar deh, kok berisik banget yah ditempat lo. Dimana sih lo?”
“hujan neng, jelas aja berisik.”
“iyah tau gw, tapi kok jelas banget suaranya.”
“berarti HP gw mantap, bisa ampe jelas gitu suaranya”
“alah, lupa tuh dulu HP siapa?”
“heheheehehehehe” aku tertawa, karena HP yang aku pakai sekarang adalah punya Rika yang tidak terpakai. Lumayan lama aku berbicara dengan dia, sampai gigilan tubuhku semakin kencang. Aku mengakhiri perbincangan,
“cil, makasih yah dah mau ngobrol sama gw.”
“iya bel, lain kali jangan diulangi ya nak. hehehehehe”
“iya Bu, gak diulangi deh. Yaudah ya, lo lanjutin tidur dah sana.”
“oke deh. Met malem bel.”
“malem Bocil.” Aku menutup pembicaraan dengan Rika.
Aku tenang sekarang setelah mendengar suara sahabatku, Rika. Mungkin kata sahabat pun untuk Rika itu tidak tepat, kami sangat dekat. Orang tua kami saling kenal, sangat dekat juga. Aku bersyukur punya sahabat seperti dia; baik, manis, dan pintar. Kami selalu berbicara masalah-masalah yang dihadapi, mulai dari hidup, sekolah, sampai masalah cinta.
Aku bisa melupakan masalahku dengan Amel, setelah mengobrol dengan Rika walau tanpa bercerita masalah dengan Amel. Tadi, beberapa jam yang lalu aku coba kerumah Amel melakukan ritual orang pacaran, ngapel. Aku memang tak pernah main kerumahnya saat malam Minggu untuk sekedar melakukan apa yang disebut pacaran. Biasanya Aku lebih memilih semedi dengan notebook-ku dan beberapa pekerjaanku pada malam minggu. Sayangnya ngapel menjadi parameter Amel dalam berpacaran. Naas memang, seorang Amel yang cantik luar biasa dan berwawasan luas tapi berpikiran pendek.
Saat aku sampai di gang rumahnya, aku melihat sebuah motor ninja yang sudah terparkir pasti. Sebelum sampai depan rumahnya, aku matikan supra butut milikku. Aku parkir agak jauh dari rumahnya, lalu aku berjalan menuju rumah Amel. Aku terus berjalan sampai aku lihat ada Amel di teras rumahnya, bersama seorang laki-laki. Mengobrol asik, sampai mereka saling tertawa dan tenggelam dalam keceriaan.
“sayang, lagi apa? Malem minggu sama siapa nih? ” aku kirim sms ke Amel
“sama siapa lagi deh, aku aja ditinggal terus sama kamu. Nonton tivi aja nih yank.” Amel membalas.
Mereka semakin asik dalam obrolan sampai aku melihat mereka berciuman. Ya, pacarku berciuman dengan orang lain.
“aku kan ngurusin kerjaan, bukan selingkuh.” Aku mengetik sms sindiran sambil gemetar.
Amel tidak menghiraukan sms ku, bahkan mereka semakin asik dengan apa yang sedang mereka kerjakan. Tiba-tiba tangan lelaki itu telah menggerayangi badan Amel, sampai aku tak kuat melihatnya saat tangannya masuk kedalam kaos yang dikenakan Amel. Badanku seperti tak bertulang, lemas sekali.
“berapa malam minggu yang mereka habiskan bersama? Berapa kali bibir mereka bertemu? Berapa kali mereka melakukan itu?” pertanyaan itu terus membahana di dalam hatiku.
Aku seret kaki ku menuju motor lalu pergi melaju dengan kencang.
“Awas aja kalo kamu SELINGKUH. Gak mau aku pacaran sama kamu lagi. Aku tidur ya yank. Met malem. Semangat yah kerjanya. Muaaach.” Sejam kemudian aku mendapat balasan dari Amel.
Dia bersikap sangat wajar sekali, seperti tidak ada apa-apa. Sangat total sekali dia melakoni adegan perselingkuhan itu, seperti artis pro. Aku tak tahu kenapa dia sampai bisa melakukan itu, apa karena aku tak pernah mau melakukan pertemuan bibir itu? Aku memang selalu menolak dengan halus jika gesture tubuhnya meminta aku untuk melakukannya. Sungguh munafik jika aku tidak ingin, hanya saja aku ingin melakukannya saatny tepat nanti, saat kita melakukannya diluar kata haram. sayangnya sikapku seperti itu hanya membuatnya tak tahan dan melampiaskannya pada orang lain. Walau hatiku seperti tertusuk tombak besar, tapi aku sangat berterimakasih karena aku mengetahuinya sekarang sebelum semuanya terlambat.
Sesampainya dirumah aku langsung menetralisir air hujan dengan mandi. Setelah mandi aku Berwudhu dan langsung shalat. Selesai berdoa, aku baringkan tubuhku diatas kasur.
“Selamat Malam Melati Dwi Pertiwi.” Aku mengirim sms sebelum akhirnya aku terlelap.
*********
Bagian Kedua
Aku terbangun dari tidur, suara alarm hp sangat membantuku untuk bangun pagi. Sempat hatiku merasa lega karena hanya bunga tidurku saja, melihat Amel bersama seorang lelaki. Semua berubah saat aku melihat hp ku, “Selamat Malam Melati Dwi Pertiwi” masih berada dalam pesan keluar. Aku kembali bergetar, adegan semalam kembali terputar dalam fikiranku. Badanku semakin bergetar saat coba menebak sudah berapa kali mereka seperti itu, sampai pintu kamarku terbuka.
“lho, udah bangun kamu?”
“iya mah, biasa juga jam segini”
“udah shalat belum?”
“belum mah, hehehehe” aku mnyeringai yang kemudian mengambil aksi untuk kekamar mandi.
Setelah melakukan ritual pagi dan shalat subuh, aku langsung menyambar hp.
“Bocil, udah bangun?” aku mengirim sms kepada Rika. Aku kembali melamun dan entah kenapa kembali kepada kejadian semalam. Aku menghindar dengan langsung pergi kekamar mandi, segarkan badan. Aku berharap, kenangan semalam akan hilang terbawa guyuran air dari badanku. Aku khatamkan acara dikamar mandi dengan selesainya semedi di atas kloset.
“iya udah nih. Jemput gw yah ntar. :)” sms balesan dari Rika.
“iya nyah. Jam berapa?” Gw membalas lagi.
“kalo kerja kamu kayak gini, saya gak ragu naikin gaji kamu. Hahaha. Jam setgah8 ya!”
“sial lo, emang gw supir.”
Aku buat kopi untuk menemani pagi ini yang sangat dingin karena efek hujan semalam.
“ntar bisa ketemu gak?” aku kirim sms ke Amel.
“bisa kok, yank. Jam berapa?” balasan Amel.
“jam 10. Dandan yang cantik yah :)” aku balas lagi.
Aku langsung berangkat menuju rumah Rika menjemput dan mengantarkannya kesebuah studio kerja. Amel kerja dibidang desain grafis, sangat pas untuknya yang sangat mencintai bidang itu.
“Masuk, Bel?” Tawaran Ibunya Rika saat aku sampai di rumahnya.
“Iya, Bun,” Aku menyalami Bundaku, “Rika nya udah siap, Bun?”
“udah, lagi sarapan. Ikutan sana.”
Aku segera masuk kedalam dan langsung ikut sarapan bersama Rika. Kami ngobrol iseng tentang Newton. Mempertanyakan tentang keisengannya menganalisa apel jatuh yang kemudian menyebabkan postulat-postulat perusak masa depan siwa muncul. Sangat menyebalkan, untungnya masa-masa seperti itu telah lewat dari fase kehidupanku.
Setelah bicara ngalor ngidul, kami pamit kepada bunda untuk berangkat.
“kenapa sih lo gak naik mobil aja?”
“itu kan bukan mobil gw, ini hasil keringat gw sendiri” jelasku sambil melirik supra.
“kan rambut gw jadi berantakan nih” Rika ngomel sambil memelintir rambutnya.
“oke, gw duluan yah.” Aku sudah menstarter motorku dan memasukan gigi,mengambil ancang-ancang untuk menarik gas sampai ada yang meloncat kebelakang jok motorku.
“beh, ngambek deh. Jelek lo ah kalo ngambek.”
“bodo.”
“yaudah, ayo jalan.” Rika memeluk tubuhku, tidak seperti biasanya. Aku mengurungkan pertanyakanku atas sikapnya yang tidak seperti biasa, sangat nyaman. Dan perjalanan menuju tempat kerjanya, Rika terus memelukku erat. Aku sempat bercerita pada Rika tentang kelakuan Amel semalam dan memberitahukan maksud kedatanganku ke rumah Amel setelah ini. Rika semakin erat memelukku sampai tiba di depan studio kerjanya. Setelah menurunkan Rika, aku langsung bergerak menuju rumah Amel.
Aku melaju menuju rumah Amel tanpa ragu. Diperjalanan aku menimang-nimang, perkataan apa yang akan aku keluarkan nanti. Mempersiapkan mental dan kekuatan diriku agar bisa tegar nanti. Mempersiapkan diri untuk menanggung resiko, sakitnya meninggalkan seorang yang kita sayang.
“hei, udah dateng kamu. Pas banget jam 10.”
“iya donk, aku kan gak kayak kamu, nona karet.” Aku bicara seperti tidak ada yang terjadi tadi malam.
“masuk yuk” ajak Amel.
“iyah, aku juga males disini” sambil menunjuk tempat kejadian perkara tadi malem. Aku duduk di sofa panjang, bersebelahan dengan Amel.
“kamu mau minum apa?” tanya Amel.
“gak usah, duduk aja disini yang tenang.” Kataku
“yaudah. Kok kamu gak ke kantor?”
“aku bilang izin ke dokter dulu buat berobat, aku bilang gak enak badan. Ntar habis ini juga ke kantor.” Aku menjelaskan.
“wah, niat banget kamu pengen ketemu aku.”
“iya donk. Hehehe” aku tertawa kecil.
“hmmmm” aku memandang wajah Amel, sangat sempurna, “kamu cantik banget.”
“iya donk, udah dandan gini masa gak cantik.”
Dia memang sempurna.
“terlalu cantik sampai aku gak bisa jaga kamu” kuawali dengan kalimat indah.
“apa sih kamu?”
“gak bisa ngasih perhatian lebih buat kamu.” Kataku mantap.
“apa deh? Kayak abg labil.”
“aku pengen kita udahan aja.” Aku coba menahan air mata.
“gak lucu deh yank.” Amel merajuk.
“aku sayang banget sama kamu, gak pengen ngeliat orang yang aku sayang ini gak bahagia” aku mengelus pipinya, yang langsung ditepis oleh Amel.
“apa maksudnya ini?” Amel berteriak kencang.
“Aku pengen kita udahan dan ngeliat kamu bisa bahagia sama orang yang tadi malam udah gerayangin badan kamu.” Aku coba tetap tenang, menahan emosi yang sangat ingin meledak.
Amel seperti orang yang diberikan surprise party saat ulang tahunnya, raut wajahnya menunjukan kekagetan itu.
“semalem aku kerumah, niatnya mau pacaran. Hehehe” aku masih coba terlihat tenang, “aku lihat ada motor di depan rumah. Aku penasaran sama tamunya, ternyata cowok. Dan disitu aku ngeliat kamu berhubungan fisik, yang gak pernah aku akuin sama kamu.”
“maafin aku....” Amel meloncat kedalam pelukan dan membasahi kemejaku.
Aku tarik badannya dan menegakkan wajahnya yang tertunduk, “aku yang harusnya minta maaf. Gak bisa buat kamu seneng. Sekali lagi maafin aku yah, aku gak pengen kamu terus bohong sama aku. Jadi aku pengen kita pisah aja.” Aku masih bisa menahan segala emosiku, “udah ah, gak usah nangis. Masa cengeng gini sih.” Aku sapu air mata yang mengalir di pipinya.
“makasih ya, Mel, kamu udah mau jadi seorang yang sangat baik sama aku” Aku mengecup kening Amel, “semoga kamu bahagia sama dia” aku berdiri dan segera meninggalkannya sendiri.
Air mataku mengalir deras berbanding lurus dengan sakitnya hatiku saat harus rela meninggalkan Amel. Tidak munafik bahwa aku sangat menyayanginya, aku sudah sangat yakin dengan dirinya, seyakin diriku untuk menjadikannya seseorang yang halal bagiku. Tapi aku sadar, untuk apa memaksakan seseorang yang sama sekali tidak bahagia bersama kita. Lebih baik merelakannya bersama orang yang bisa membuatnya bahagia selalu.
Dalam tangisku, aku berdoa. Berdoa untuk semua langakah yang telah aku dan Amel ambil. Mengambil langkah yang berbeda yang tidak selaras. Semoga juga dia akan berbahagia bersama lelaki itu. semoga juga aku bisa melepaskan sayangku kepadanya sedikit demi sedikit. Semoga...
*********
Bagian Ketiga
Kehilangan Amel telah membuat lubang masif dihatiku, yang membuat udara tak bisa tertampung di dada. Aku harus berusaha keras untuk mengurung udara agar aku bisa bernafas, bernafas untuk membuang sayangku padanya. Aku sama sekali tak sadar jika sayangku kepada Amel sudah sebesar itu sehingga dapat membuatku tak bergairah melakukan kegiatanku seharinya.
Mungkin Amel sudah tidak memikirkan diriku lagi, diriku yang terkhianati oleh dirinya. Diriku yang tak bisa membuatnya nyaman dan bahagia. Diriku yang hanya bisa berangan hidup bersama Amel tanpa ada usaha yang berarti untuk menjaganya.
Aku terus menyalahi diriku sendiri atas kehilangan Amel yang sangat aku sayang. Sampai Rika menyadarkan diriku.
“lo masih sayang yah sama dia?” tanya Rika.
“bohong kalo gw bilang gak, Cil. 2 tahun bukan waktu yang cepet.”
“dan satu bulan adalah waktu yang lama untuk lo uring-uringan begitu.” Rika tak kalah, “gw gak kenal sama Abel yang lemah kayak gini. Abel tuh kuat dan ceria. Gak kayak sekarang.” Rika mencibir.
“gak Cuma lo, gw juga kehilangan Abel yang kayak gitu.”
“lo gak kehilangan kok, Cuma lo menahan Abel yang itu untuk keluar. Lo mengurung dia jauh di ruang hati lo yang lain. Come on, jangan statis gini donk.”
“........” Aku terdiam menatap wajah Rika.
“ini” Rika menunjuk dadaku, “bagaikan sebidang tanah dan lo adalah pak taninya. Sekarang tinggal lo tentuin, mau tanamin apa tuh tanah yang lo punya. Apa iya mau terus nyiramin taneman mati?” Rika menganalogikannya.
“.......” aku masih terdiam.
“ayo, gw yakin lo bisa move on kok. Lo Cuma tinggal nyari taneman lagi aja kok buat mengisi tanah kosong lo itu.”
Aku takjub kepada seorang yang berada di depanku ini, dia bisa membawa sedikit sadar apa yang terjadi kini sangat tidak wajar untukku.
“makasih ya, Cil.” Aku memeluk dirinya.
Setelah kejadian hari itu, aku coba berdiri lagi menantang hari. Coba menata hati lagi, melangkah lagi, dan tentunya coba mengisi tanah kosong yang kini aku miliki. Walau tak seutuhnya kosong karena masih ada sisa tanaman terdahulu yang tersisa.
Rika membantuku untuk menetralisir perasaanku atas Amel. Aku pun mencoba terus takmengingat lagi semua kenanganku bersama Amel dengan terus bersama Rika. Rika yang telah membuatku menjadi kuat kembali dan dia juga yang kini mengisi hari-hariku. Kami seperti pasangan kekasih sekarang, selalu berdua. Rika selalu minta ditemani olehku setiap waktu, bahkan sekedar belanja kebutuhannya. Tak beda dengan diriku.
Semua itu menjadi masa kehidupanku yang sangat membahagiakan. Sampai saat itu datang, saat yang menjadi titik balik keterpurukan. Posisiku yang tadinya berada diatas, harus terjerembab jatuh kebawah. Semua datang secara tiba-tiba tanpa aku ketahui.
“assalamualaikum” suara wanita dari seberang telepon. Nomor yang tertera tidak aku kenal, tapi suara ini familiar.
“walaikumsalam” aku menjawab suara teduh diseberang sana. “maaf, ini siapa yah?”
“jahat banget nomor aku dihapus.”
“maaf, ini siapa?”
“Ini Amel, Bel.”
Aku coba mencerna kalimat terakhir dari seberang telepon, aku terdiam. Suara yang teduh dan sangat familiar itu adalah suara Amel. Seorang yang sangat ingin aku lupakan. Tapi dia malah meneleponku saat proses rehabilitasi belum sempurna.
“kok diem aja, Bel?”
“eh, gak apa-apa kok.” Aku gugup, entah kenapa? “ada apa yah?”
“gak ada apa-apa sih. Mau denger suara kamu aja.” Suara yang tadi teduh kini sedikit lirih.
“kirain ada yang penting.”
“ ada emang, bisa ketemuan gak?”
“hah? Ke-te-mu-an? Mau ngapain.”
“ada yang mau aku omongin” suaranya semakin lirih, seperti orang menangis “Aku tunggu yah, di cafe jadian.” Dan sambungan terputus.
“halo, haloo” aku memekik, tapi percuma. Sudah terputus.
Aku bingung dengan kelakuan Amel yang tiba-tiba datang seperti ini. mengajak bertemu, ada yang ingin dibicirakan. Aku sudah tidak ingin membicarakan masa lalu lagi. Aku sudah cukup kuat tanpa dirinya. Jadi jangan harap aku akan datang bertemu dengan kamu hari ini, walau itu sangat penting bagi dirimu.
********
Bagian Keempat
Entah bisikan dari mana sampai-sampai aku sudah berada di jalan menuju cafe jadian. Cafe tempat aku menyatakan cintaku pada Amel, tempat yang membuat status teman berubah menjadi pacar. Tempat yang penuh kenangan bersama Amel, dan aku sedang menuju tempat tersebut. sebenarnya aku enggan menemuinya, tapi sistem kerja otakku tak dapat mengontrol diri ini untuk tidak pergi.
Aku terus menyusuri garis jalan, sambil coba tak membuka kenangan dulu bersama Amel. Terus mengunciny dalam sebuah kotak dengan kode kombinasi yang sulit di pecahkan. Sampai aku tiba disebuah tempat pertemuan kita, tak ada yang berubah. Semua masih sama seperti dulu, tempat ini seperti sengaja di jaga untuk diriku, untuk mengenang semuanya. Semua kenangan yang tadi aku kunci rapat kini terbuka dengan sendirinya. Semua gambaran dinamis berjudul kenangan bersama Amel langsung terputar lagi dalam fikiranku. Aku kalah.
“Abel,” suara teriakan dari sudut cafe, “disini” Amel melambaikan tangan.
“huh” aku hembusakan nafas pasrah dan berjalan menuju tempatnya duduk. Dia memilih sudut yang sama, sama seperti waktu itu.
“duduk” pinta Amel.
“he’eh” aku malas mengeluarkan kata.
“kamu masih inget kan tempat ini? meja ini” Amel memulai dengan kalimat yang menurutku sangat mengganggu.
Aku hanya tersenyum, aku ingat semua. Masih jelas dalam fikiranku. Tak terasa tanah kosong ini kembali ditumbuhi semua yang pernah ditanam Amel. Sial, semua yang aku bangun untuk mengurung perasaan ini runtuh dengan sempurna. Harusnya ku memang tak ketempat ini,menemui dirinya.
“.........” Amel terdiam memandangi wajahku, lalu coba tersenyum walau agak berat aku lihat.
“.........” Aku juga tak bicara.
“kamu udah punya pacar lagi?” Amel bertanya.
“gw masih seneng sendiri. gak terbebani.” Aku coba menjawab ketus.
Amel menunduk dan tiba-tiba menangis. Persis seperti yang aku pikirkan, pasti ada adegan menangis lalu dengan tersedu-sedu Amel akan bicara bahwa dia menyesal melakukan semua yang telah merusak hubungan kita dulu. Setelah itu pasti memohon untuk balikan lagi denganku. Aku langsung mempersiapkan kalimat penolakan.
“a..ku...” bibir Amel bergetar, sangat terasa dari suaranya. Dia tak meneruskan kalimatnya dan kembali terisak. Aku tak mau menunjukan simpatiku, ini kesalahan yang telah dibuat Amel sendiri.
“ha...mil....” terdengar sayup dari tangisannya.
“hah?” aku terkejut mendengarnya.
“Aku hamil, Bel.” Amel bicara lebih jelas lagi. Aku semakin terkaget.
“kok bisa?” kini tubuhku yang bergetar. Menurutku kata hamil sangat tabu bagi seorang yang belum mempunyai status menikah. “sama siapa?” aku bertanya orangnya.
“......” Amel hanya mengisak.
“yang gerayangin badan kamu itu?” aku mulai geram.
“......” Amel masih larut dalam tangisannya, yang dilanjutkan dengan anggukan kecil dari drinya.
“tenang donk, gemana gw bisa tahu masalahnya kalo lo nangis terus.” Aku kesal.
“udah jalan 3 minggu” Amel menjelaskan usia kandungannya, “dia menghilang saat aku cerita tentang ini. aku gak tahu dia kemana, Bel? Aku gak mau gugurin.”
“cowok brengsek” aku emosi, “lo tahu rumah dia?”
“itu dia salah aku, aku gak tahu sama sekali tentang itu. yang aku tahu ya Cuma dia, gak tahu tinggalnya dimana, apa kerja orangtuanya, yang aku tahu ya Cuma Rio doank.”
“yaudah gini aja, lo kasih tau semua tentang bajingan itu ke gw, gw bantuin lo buat nyari dia.”
Sayagnya Amel hanya mengetahui nomor ponsel yang terakhir dipakai Rio, nama panjangnya dan daerah Rio mengontrak. Kalau begini, akan susah mencari si bajingan itu.
********
Bagian Kelima
Sudah sebulan kami (aku dan Amel) mencarinya, tak ada yang kami dapat. Kami sudah melapor ke pihak berwajib, tapi setiap kami mencari tahu perkembangannya pun hampir tak ada. Kami sempat mencarinya di daerah kontrakannya, Palmerah, tapi juga tak ada hasil. Sangat hebat sekali dia dalam melarikan diri, melarikan diri dari tanggung jawab.
Aku terus mencari si brengsek itu, entah mengapa aku jadi orang sangat peduli pada Amel. Aku sangat semangat mencari si brengsek, padahal jika ditelisik lagi harusnya aku tak usah mempedulikan Amel yang telah menyakitiku. Tapi tak lagi aku pikirkan itu.
Semangatku berbanding terbalik dengan Amel, raut wajah keputusasaan telah meraup dirinya. Amel sepertinya sudah patah semangat mencari Rio.
“Bel, udah deh. Gak usah dicari lagi dia.” Amel menarik nafas dalam.
“trus?”
“aku mau gugurin aja, sebelum makin besar.”
“gak bisa, sama aja kamu kayak pembunuh. lo tega emang bunuh anak lo sendiri?” aku meletup-letup.
“..........” Amel terdiam, lalu menutup wajahnya dengan tangan dan menangsi kencang.
“aku gak mau anak ini lahir tanpa ayah. Aku gak sanggup.” Suara Amel disela tangisnya.
Aku tak bisa berkata apa-apa, walau aku tak merasakannya tapi aku tahu betul perasaan Amel saat ini. aku peluk Amel, menenangkannya.
----------------
Aku tak bisa melihat Amel menderita seperti itu, aku iba. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika anaknya lahir tanpa sosok ayah, cemoohan pasti didapatnya. Apa lagi Amel, harus mendapatkan sanksi moral dari lingkungannya karena hamil diluar nikah. Aku benar-benar tak sanggup untuk memikirkannya dan tiba-tiba saja sebulir air mata jatuh.
Aku berpikir keras, apa lagi yang bisa aku lakukan untuk Amel agar dia tak menderita seperti itu lagi. Sebenarnya aku sangat ingin membantunya, menguapkan penderitaannya. Sampai aku memikirkan suatu cara, yang mungkin baik untuk Amel dan masa depan anaknya. Aku ingin membicarakannya kepada Rika terlebih dahulu.
“Cil, ketemuan yuk. Di bakso kan jarman aja. 15 menit lagi gw nyampe.” Aku kirim sms ke Rika.
“oke deh, bayarin yah. hehehe :D”
---------------
“cil, lo tahu kan mantan gw, Amel.” Aku mulai bicara saat bakso sudah habis dimangkuk.
“iyah, kenapa?”
“sebulan yang lalu dia ngehubungin gw lagi.”
“hah? Dia ngomong apa? Minta balikan lagi? Trus lo mau?” Rika memberondong. Aku lihat ada suatu rasa kegelisahan dari wajahnya.
“aduh, kayak ibu-ibu rumpi lo. kalem donk.”
“yaudah cerita” Rika penasaran.
“jadi waktu itu dia hubungin gw.....” aku terdiam sebentar.
“trussssssss?” celetuk Rika.
“minta ketemu sama gw. Awalanya gw gak mau....” belum sempat aku melanjutkan, Rika sudah memotong.
“akhirnya lo ketemu kan?” potong Rika.
“iyah. Gw pikir awalnya juga pasti dia minta balikan, eh ternyata enggak.”
“minta kawin?” Rika kesal.
“heh, becanda aja lo.” aku menegurnya, “dia cerita, kalo dia hamil?”
“hah?” Rika tercekat mendengar itu.
Aku ceritakan semua, mulai dari Rio yang selingkuh dengan Amel sampai akhirnya aku dan Amel mencari si brengsek yang kabur itu karena tak mau bertanggung jawab. Semua aku jelaskan tanpa ada kekurangan, sedetil-detilnya. Dan aku mengutarakan keinginanku.
“begitu, Cil. Dan gw pengen nikahin dia. gw gak mau liat anaknya nanti gak punya ayah.” Aku menjelaskan.
“hah? Gw kira Amel doank yang gila karena kehamilannya, dan lo ikutan gila.” Rika berkata sambil menyilangkan dua telunjuk di jidatnya.
“gw serius, Cil. Gw kan dari awal emang pengen bahagiain Amel. Mungkin ini jalannya gw bisa ngebahagiain dia.”
“setelah lo disakitin? Bener-bener psycho lo,” Rika menoyor kepalaku, “yang mau sama lo banyak, Bel. Kenapa lo stuck sama dia. urusan dia hamil mah itu pribadi dia, kan yang hamilin bukan lo.” Rika kesal.
“tapi, Cil....” omonganku terpotong rika.
“oke, lo Cuma pengen gw tahu apa nanya pendapat gw tentang rencana lo ini?” tanya Rika penuh nafsu.
“gw pengen denger pendapat lo, Cil.” Aku menjawab lirih. Benarkah aku yakin dengan ini semua?
“pendapat gw ya yang tadi, itu masalah dia dan bukan lo yang harusnya tanggung jawab.” Rika lebih terkesan membentak.
“tapi....”
“berarti lo Cuma pengen gw tahu doank rencana ini tanpa menggubris pendapat gw.” Rika kesal, “jalanin sesuka lo, Bel. Gw tunggu undangannya.” Rika keluar kedai bakso dan segera memanggil ojek dan pulang kerumah.
Aku tak mengerti, kenapa Rika bisa semarah itu padaku? Apa dia sedang dapet? Semoga saja iya, karena saat-saat seperti itu emosinya tak terkontrol. Dan aku memantapkan hatiku untuk menikahi Amel, dan akan ku beritahukan secepatnya pada Amel. Semoga dapat membawa sedikit kebahagiaan padanya.
**********
Bagian Keenam
Aku sudah siap dengan kemeja hitam lengan panjang dan celana jeans hitam. Aku memang telah menyiapkan pakaian ini kemarin, aku setrika sendiri dan menyemprotkan pewangi yang sangat harum. Aku berdoa semoga semua berjalan dengan lancar.
Aku tepikan motorku di toko bunga, aku ingin membawa mawar putih untuk Amel. Kenapa putih, karena Amel menyukai warnanya dan agar lebih terlihat kontras dengan pakaianku. Sempurna. Aku laju lagi motorku menuju rumah Amel. Ditengah perjalanan tiba-tiba terdengar suara ponselku berteriak, aku lihat layar ponselku, Amel.
“iya, Mel.”
“Halo, Bel.” Suara Amel agak keras.
“kenapa, Bel” aku jauhkan ponsel dari telingaku.
“tahu gak, Bel?” kalimat Amel seperti ABG.
“gak tahu.” Aku jawab seadanya.
“hehehe” Amel tertawa, “tadi Rio kesini. Dan dia mau tanggung jawab, Bel.” Amel sumringah.
“........” aku bergetar.
“Bel, Abel? Masih di situ kan?”
“iya, Mel. Masih kok. Bagus deh kalo gitu.” Aku respon seadanya, aku sudah keburu kecewa.
“makasih ya, Bel. Makasih selama sebulan ini kamu nemenin aku.”
“gak usah dipikirin. Yaudah ya, buru-buru nih gw. Lagi dijalan” aku tak berbohong padanya, ini penghindaranku dari dirinya.
“yaudah, bye.” Sambungan terputus.
Air mataku meleleh, kenapa? Kenapa saat aku sudah yakin untuk meminangnya tapi kembali terpisah? Tapi bukannya bagus yah, dia sudah bersama orang yang menghamilinya, tapi aku malah sedih. Aku larikan motorku sekencang-kencangnya. Berharap menguap segala kesedihan ini.
Entah aku sudah berada dimana sampai aku sadar tentang seorang yang bisa aku bagikan cerita, Rika. Aku mau mengirim pesan pada dirinya, saat aku lihat layar ponselku ada pemberitahuan, 33 panggilan tak terjawab dan 17 pesan masuk. Aku lihat panggilan tak terjawab, ternyata Mamah. Aku telepon Mamah, takut ada yang penting.
“halo mah, ada apa?” aku coba tak terdengar sedih.
“hah?” aku kaget saat mendengar itu dari mamah.
----------
Aku benar-benar tak mengira semua ini bisa terjadi. Kenapa bisa-bisanya Rika berpikiran pendek seperti ini, kenapa dia tidak pernah bercerita denganku. Apa semua terlalu berat dia katakan? aku pikir, akulah seorang yang paling mengerti dirinya. Ternyta tidak, aku adalah seorang yang dekat dengannya tapi yang tidak mengerti dirinya.
“ayo, Bel.” Mamah menyodorkan keranjang itu.
Air mataku mengalir deras saat aku mengambil bunga dan menaburkannya di atas gundukan tanah baru ini. Satu sosok telah tertimbun dibawah tanah ini, Rika. Dia telah menghilangkan nyawanya sendiri. Tidak, akulah yang telah membunuhnya. Akulah yang telah memaksanya untuk meninggalkan dunia ini. Sungguh aku seorang sahabat yang sangat jahat.
Genggaman bunga terakhir sudah tertabur diatas makam Erika Widyaningsih, sahabatku. Aku hampiri bunda, untuk meminta maaf padanya.
“bun, maafin aku yah.” Aku mencium tangan bunda dengan isakan tangis.
“maafin bunda juga yah, bunda gak maksud nyalahin kamu tadi.” Bunda mengelus kepalaku, “doain Rika selalu ya, Bel.”
“pasti, Bun.” Aku melepaskan tangannya. Bunda lalu memelukku sangat erat.
“makasih ya, Bel.” Lalu Bunda pergi dari TPU. Disusul dengan yang lain.
Aku terduduk meratapi kepergiannya, terus berkata ‘kenapa?’ tak henti. Mamah mengerti sekali perasaanku, lalu ditinggalkannya diriku berdua dengan Rika. Aku ambil kertas yang ditulis oleh Rika sebelum dia menenggak obat pengusir serangga. Aku baca lagi isinya, sangat membuatku menyesal.
“kenapa sih lo seneng nyusahin diri lo sendiri? Kenapa?
Gw udah seneng banget waktu lo putus sama dia
Tapi apa? Lo lebih milih buat bikin masa depan dia gak suram
Ninggalin masa depan gw
Gw marah banget sama lo, karena keinginan lo buat nikah sama dia
Apa lo gak bisa ketulusan dari mata gw?
Gw gak pernah bisa ngomong sama lo
Gw pengen lo tahu dengan sikap gw
Sikap gw yang nolak semua tawaran cowok buat jadi pacar mereka
Gw pengen lo tahu kalo gw nolak mereka semua itu karena gw mau lo, Cuma lo satu-satunya
Tapi saat lo bilang pengen nikah sama dia, gw seolah-olah gak ada harapan sema sekali
Sia-sia semua usaha gw untuk pertahanin perasaan gw ke lo
Lo gak pernah ngerasain itu
.......
Semoga lo bahagia dengan dia yah, Mulya Libel Andri.
Seandainya lo ngomong sama gw, Cil. Mungkin lo masih tersenyum disamping gw. Maafin gw ya, Cil.
.:END:.
Credit by : http://coratcorettentangcinta.blogspot.com
Ulul Fadli (ululfadhli@gmail.com)